Deskripsi
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi.
Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun
besar, yang luruh di musim kemarau.
Jati dikenal dunia dengan nama teak
(bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala
di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f.
Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah
hujan 1.500-2.000 mm/tahun dan suhu 27-36°C baik di dataran rendah maupun
dataran tinggi. Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah
dengan pH 4.5-7 dan tidak dibanjiri dengan air. Jati memiliki daun berbentuk
elips yang lebar dan dapat mencapai 30-60 cm saat dewasa.
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat
dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses
propagasi secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi
permintaan atas kayu jati. Jati biasanya diproduksi secara konvensional dengan
menggunakan biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu
tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras. Beberapa
alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji
dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan
asam, basa, atau bakteri.
Akan tetapi alternatif tersebut masih
belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang
banyak.
Umumnya, Jati yang sedang dalam proses
pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit antara lain leaf spot disease
yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides,
Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang
disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang
disebabkan oleh Uncinula tectonae. Phomopsis sp. merupakan penginfeksi
paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994. Infeksi
tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2-8 bulan. Karakterisasi dari infeksi
ini adalah adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian
secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar ke bagian atas
daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang
tersebut mengalami kekeringan. Jika tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi
dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga proses
penanaman jati tidak bisa dilakukan.
Habitus
Pohon besar dengan batang yang bulat
lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang bebas cabang (clear bole)
dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula
individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing
memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw.,
bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning
keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkali
masyarakat indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman jabon (antocephalus
cadamba) padahal mereka dari jenis yang berbeda.
Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat
tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan
diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11
meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.
Pohon jati yang dianggap baik adalah
pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu
jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.
Daun umumnya besar, bulat telur
terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon
berukuran besar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua
menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut
kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan
mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda
berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Bunga majemuk terletak dalam malai
besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun
dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk
pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.
Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5-2,5
cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu
yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung
menyerupai balon kecil.
Sifat Ekologis dan Penyebaran
Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar,
Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan
gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.
Menurut sejumlah ahli botani, jati
merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India,
Muangthai, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah
spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.
Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada
saat ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand,
Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami
satu-satunya berasal dari Burma. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati.
Jati paling banyak tersebar di Asia.
Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai
hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh
(1871), Vietnam (awal abad ke-20), dan Malaysia (1909).
Iklim yang cocok adalah yang memiliki
musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara
1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang
tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0-700 m dpl; meski jati
bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.
Tegakan jati sering terlihat seperti
hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis
pohon.
Ini dapat terjadi di daerah beriklim
muson yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar
jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati
termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal.
Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai
batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan
tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim
hujan tiba.
Guguran daun lebar dan rerantingan
jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan
lain berkembang. Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu
kebakaran yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon
lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru
mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk
berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati.
Tanah yang sesuai adalah yang agak basa,
dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup
banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang
air.
Pada masa lalu, jati sempat dianggap
sebagai jenis asing yang dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh
orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme
yang dilakukan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah
berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t.).
Karena nilai kayunya, jati kini juga
dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika
tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.
Sebaran Hutan Jati di Indonesia
Di Indonesia sendiri, selain di Jawa
dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada
upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan.
Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun.
Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis
yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu,
jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.
Sekarang, di luar Jawa, kita dapat
menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi,
Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga
di daerah Lampung di Pulau Sumatera.
Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan
jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau
berdekatan. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah
timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bagian timur laut Bima
di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada saat itu.
Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan
jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar
7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk
Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena,
serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir
memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan
jati jawa.
Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan
baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa,
Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa,
pertumbuhan pohon jatinya saat ini tidak kalah dengan yang ada di Pulau Jawa.
Garis tengah batangnya dapat melebihi 30 cm.
Daerah Sebaran Hutan Jati di Jawa
Sedini 1927, hutan jati tercatat
menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau
ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di
daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan
laut.
Di kedua provinsi ini, hutan jati
sering terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran
hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah
alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu
terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa
Tengah.
Saat ini, sebagian besar lahan hutan
jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di
bidang kehutanan. Pada 2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir
seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai
sekitar 1,5 juta hektar. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan
Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa.
Sifat-sifat Kayu dan Pengerjaan
Kayu jati
merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Secara
teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas keawetan I. Kayu ini
sangat tahan terhadap serangan rayap.
Kayu teras jati
berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bagian luar, berwarna putih dan
kelabu kekuningan.
Meskipun
keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk
membuat furniture dan ukir-ukiran. Kayu
yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak.
Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan
gambaran yang indah.
Dengan
kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sebagai kayu
mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior,
kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.
Sekalipun
relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah
berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati digunakan
juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan
kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada abad ke-19 konon meminta upah tambahan
jika harus mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga mampu
menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan
menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena
dapat merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.
Pada abad
ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan akar jati sebagai
penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka.
Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan
bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun
mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati
dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk
meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.
Jati burma
sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati
jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat
dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang
disebut berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.
Menurut
sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis jati (Mahfudz dkk., t.t.):
- Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
- Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
- Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
- Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
- Jati kembang.
- Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.
Kegunaan Kayu Jati
Kayu jati
mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat
awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di
bawah naungan atap.
Jati
sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk
kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Juga dalam
konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.
Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.
Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.
Dalam
industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis
mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga
diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.
Ranting-ranting
jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sebagai kayu
bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu
digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.
Sebagian
besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.
Jati | ||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Klasifikasi ilmiah | ||||||||||||||
|
||||||||||||||
Nama binomial | ||||||||||||||
Tectona grandis Linn. f. |
Mantab informasinya Bro... salam sukses selalu.
BalasHapusok bang, terima kasih atas kunjungannya
HapusSalam Tani Indonesia
Semoga Sukses Selalu
postingan yang bagus,,,
BalasHapusterima kasih gan atas pujiannya,
Hapusdan terima kasih juga atas kunjungannya
Salam Tani Indonesia
Semoga Sukses Selalu
Abang thanks atas informasinya. Ini ni yang saya cari. Tullisan anda menjadikan saya mempunyai inspirasi untuk membuat tugas MK Filsafat. Salam Tani Indonesia. Kembalikan Kemakmuran Para Petani. Indonesia Negara Agraris. Salam Sukses Selalu Untuk Para Petani Indonesia.
BalasHapusamiin...
BalasHapusterima kasih juga atas kunjungannya...
Semoga Sukses Selalu...